Kamis, 01 November 2018

BERPISAH DENGAN ZAKIYA

“Pak.. Ngebut sedikit bisa, Pak?, kataku pada driver Gojek. Hari ini aku buru-buru mengejar kereta ke Jakarta. Petang hari seperti ini memang waktu padat-padatnya jalanan Demak-Semarang, jam kapan karyawan pabrik pulang ke rumah. “Iya, Mbak. Saya usahakan tepat waktu sampai tujuan”, kata Pak driver.
Motor melaju kencang di antara truk-truk besar menyusuri jalan Pantura. Aku terus membaca shalawat nabi, berharap semua baik-baik saja. Cuaca mendung sedari ashar, beruntung tak turun hujan. Alhamdulillah, ku rasa Allah sedang baik padaku.
Pukul enam aku sampai di stasiun Poncol Semarang. Tepat setengah jam lagi kereta berangkat. Segera aku menuju petugas boarding dan menunjukkan tiket. Aku masuk ke peron dan mencari kursi. Ku tarik nafas dalam-dalam mensyukuri segala karunia yang Allah berikan. Aku senyum-senyum sendiri sambil menggelengkan kepala, “Ya Allah.. terimakasih atas segala nikmat yang engkau berikan. Tanpamu aku bukan apa-apa”.
Segera aku buka Whatsapp dan berbalas pesan singkat dengan Zakiya, temanku saat aku masih di pesantren. Dia sedang di rumah.
“Zak, aku wis tekan Poncol”, kataku
“Oh ya.. jajal selfie ah”, balas zakiya
"(mengirim gambar senyum dengan background kereta)", balasku
“Wah.. senangnya.. hati-hati ya di perjalanan.. semoga selamat sampai tujuan”, pesan Zakiya padaku.
Zakiya adalah teman terbaikku. Dia masuk pondok bersama denganku. Entah kebetulan atau tidak, kami juga berada dalam kamar dan kelas yang sama. Tak butuh waktu lama, kami pun akrab bagai saudara kandung.
Sebuah hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku menjadi seorang santri di pondok pesantren. Aku yang dulu suka jalan-jalan, sekarang tak lagi. Tak ada televisi, tak ada pula telepon genggam.
Bosan? Ya, sedikit. Tapi aku memiliki banyak saudara baru di sini. Kami tak hanya sebatas teman biasa. Mengapa? Karena setiap hari kami bertemu. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Apa-apa kami lakukan bersama. Ngaji bersama, bersih-bersih bersama, kerja bakti bersama, dan makan juga bersama.
Ada hal yang menarik di pesantren. Di sini kami tidak menggunakan piring sebagai tempat makanan, tapi nampan. Hal yang tak pernah aku dapati saat di rumah. Semula aku malu-malu. Saat yang lain makan dengan lahap aku hanya diam dan sedikit risih. “Ih, mereka kok bisa ya makan satu nampan. Apa nggak ada piring?. Apa mereka nggak risih?”, gumamku dalam hati.
“Hei.. kenapa melamun? Ayo makan!”, kata Zakiya. “E.. iya..”, jawabku. Aku mulai mengambil sesuap nasi dan ku masukkan ke dalam mulut. Ku kunyah pelan-pelan merasakan sensasi makan dengan gaya baru. “Gimana, enak?”, tanya Zakiya. “Iya..”, jawabku. “Makanya.. makan ya makan aja.. halal kok”, balas Zakiya. Kami semua tertawa sambil menikmati hidangan. Jadi, Zakiyalah yang mengajariku makan bersama dengan nampan.
Sejak saat itu, makan ramai-ramai dengan satu nampan menjadi hal yang sangat nikmat bagiku. Kesederhanaan, kebersamaan, berbagi, dari sanalah kami mempelajarinya. Bagaimana kami perlu mencuil tempe sekecil mungkin agar teman yang lain kebagian. Dan bagaimana kami saling support untuk menghabiskan makanan.
Aku teringat ketika Zakiya berulang tahun. Dia melaksanakannya seminggu setelah hari ulang tahunnya. Di pesantren, kalau ada santri yang punya hajat, dia akan membagi “bancakan”. Waktu itu Zakiya membagi sego janganan, dengan wadah nampan tentunya. Kami semua makan bersama dan bersukacita.
Teman-teman mengucapkan selamat, begitu juga denganku. “Selamat ulang tahun yang ke-17 lebih empat hari ya..”, kataku. Dia tertawa terbahak-bahak. “Kenapa bancakannya sekarang? Kok tidak empat hari yang lalu?”, lanjutku. Dia meringis dan menjawab, “Maunya sih empat hari yang lalu. “Terus?”, tanyaku. “Kan kemarin kamu pulang. Kalau aku merayakan ulang tahun tapi tidak ada kamu rasanya hambar”, jawabnya sambil tertawa lebar. Aku jadi sedikit terharu. Dia sangat baik dan perhatian padaku.
Satu kali aku pernah sakit di pondok. Aku tak bisa kemana-mana, hanya terbaring di kamar. Jangankan berjalan, duduk saja aku tak kuat. Di sanalah Zakiya menjadi pahlawan. Dia rela menghabiskan waktunya untuk menemaniku. Dia merawatku dengan baik hingga aku sembuh.
Hingga aku tanya kepadanya, “Zakiya, kamu kok baik banget kepadaku?”. Dia menjawab, “Baik ya baik saja. Nggak peduli kepada siapa”. “Terus apa yang kamu dapat dari kebaikanmu kepada orang lain?”, tanyaku. “Ya kan kita percaya bahwa kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan. Wa man ya’mal mitsqola dzarrotin khoiron yaroh”, jawabnya. “Lha kalau orang yang kamu baiki nggak baik kepadamu?”, tanyaku mulai aneh-aneh. “Orang seperti itu perlu dikasih nasi satu nampan”, jawabnya agak cemberut. “Terus?”, tanyaku. “Terus jangan lupa kasih sianida. haha”, jawabnya. Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Dia memang suka melucu.
Namun begitu persahabatan kami sempat renggang. Waktu itu kami kelas 2 MA. Aku bercerita dengannya mengenai anganku. “Zak, setelah lulus MA kamu mau nerusin kuliah atau nerusin ngajimu?”, tanyaku. Tetapi, dia hanya merespon dengan senyuman tanpa jawaban yang pasti.
Ulangan akhir semester sebentar lagi. Aku lebih giat belajar sedangkan Zakiya lebih giat menggangguku untuk tidak belajar. Aku bertanya lagi padanya, “Kamu setelah lulus MA mau ke mana?”. Berkali-kali aku memberi pertanyaan yang sama dan ia jawab pula dengan jawaban yang sama “senyuman”. Aku bosan dengan sikapnya yang seperti itu.
Zakiya memiliki kepribadian yang bertolak belakang denganku. Aku memiliki karakter yang tidak bisa diam, aku banyak bercerita tentang ini itu padanya. Sedangkan dia seorang pendiam. Dia tidak terlalu banyak bicara tidak pula banyak bercerita padaku. Menurutku dia lebih tepat aku sebut sebagai pendengar setia saat aku bercerita. Dia hanya mengangguk dan memberi tanggapan seperlunya.
Hingga suatu hari akhirnya Zakiya mau bicara. “Zakiya, kamu pengen nerusin kuliah nggak?”, tanyaku padanya. “Tidak, Ni. Aku ingin ngaji di pondok saja. Kamu tahu, kan aku tak sepandai kamu dalam pelajaran. Hafalanku saja banyak yang bolong”, jawabnya.
Jujur aku sangat sedih. Dibalik pertanyaanku sesungguhnya aku ingin sekali dapat melanjutkan kuliah bersamanya dan melanjutkan keakraban yang selama ini kami pelihara. Aku ingin lebih lama dekat bersama dirinya. Namun, apa daya. Semua keputusan ada pada diri masing-masing. Tak ada yang bisa menentukan masa depanmu selain dirimu sendiri. “Ya sudah, lakukanlah apa yang membuatmu nyaman”, pesanku pada Zakiya.
Setelah kejadian itu, Aku dan Zakiya masih berhubungan baik. Namun, dia agak berubah. Dia tidak seperti yang dulu aku kenal. Sekarang dia sensitif. Jika aku berbicara tentang dunia perkuliahan dia hanya diam, setelah itu pergi entah kemana tanpa sepatah kata. Setelahnya aku didiamkan berhari-hari. Dan kami semakin menjauh.
Aku bercerita mengenai hal itu pada Aida, kakak tingkatku yang juga memilih meneruskan mengaji di pondok. Berbeda dengan Zakiya, setidaknya Aida masih mau memberi tanggapan jika aku bercerita tentang kuliah. “Aida.. Kamu ngerasa nggak sih kalau Zakiya sekarang itu berbeda?, Dia nggak kayak Zakiya yang dulu aku kenal”, kataku. “Sekarang dia lebih sensitif padaku, apalagi jika aku bercerita tentang keinginanku yang hendak melanjutkan sekolah ke PTN dan keluar dari pesantren. Dia pasti langsung mendiamkanku berhari-hari”, lanjutku berapi-api. Aida hanya tersenyum seakan paham apa yang aku rasakan. “Mungkin kamu punya kesalahan sama dia”, jawabnya.
Aku merasa Aida ada benarnya juga, tapi aku malu untuk menanyakannya kepada Zakiya. Untuk sekedar berbicara saja aku masih sungkan apalagi bertanya-tanya padanya?. Saat itu aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Aku pasrah dengan waktu. Biarlah waktu yang memperbaiki segalanya karena tak ada luka yang bisa sembuh dengan seketika.
Aida sekarang menjadi teman dekatku. Aku banyak bercerita dengannya. Aku belajar dengannya, makan bersamanya dan tidur juga. Zakiya mengetahuinya dan hanya memasang wajah datar saat berpapasan dengan kami. Aku merasa tak enak hati dengan Zakiya. Mungkin dia menyangka aku tak lagi mau berteman dengannya.
Ujian nasional sudah di depan mata. Aku mulai belajar sungguh-sungguh, begitu juga dengan Zakiya. Tak lupa aku bersama teman-teman lainnya meminta doa dan amalan ke abah agar diberikan kemudahan dalam menghadapi ujian. Lalu kami diberi ijazah poso mutih, yaitu puasa dalam waktu tertentu dan berbuka tanpa makanan yang bernyawa. Kami melaksanakan puasa selama tiga hari berturut-turut. Dan selama itu kami makan secara terpisah dari kelompok lain. Khusus nampan kami tidak boleh ada garam, mecin, daging, dan telur.
Akhirnya, hari Ujian Nasional sudah tiba. Aku mengikutinya dengan baik. Dan bersyukur, aku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Tak sia-sia aku belajar dengan giat setiap hari. Jauh-jauh hari aku juga sudah belajar untuk persiapan mengikuti seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), karena dari awal masuk MA aku sudah bercita-cita untuk masuk ke PTN. Hingga kemudian aku diterima di sebuah universitas negeri di Jakarta setelah mengikuti serangkaian seleksi. Kini hari-hariku ku isi dengan persiapan kuliah penuh sukacita.
Bagaimana dengan Zakiya? Apakah aku melupakannya? Tidak. Sebelum aku lulus MA dan meninggalkan pesantren aku mengajak Zakiya untuk berbicara empat mata. Aku mau dia menjelaskan alasan kenapa dia mendiamkanku.
“Aku marah padamu, Ni. Kenapa kau meninggalkanku. Bukannya dulu kamu pernah berjanji padaku. Kita masuk di sini bersama, maka kita juga keluar dari sini bersama. Tapi kamu malah meninggalkanku duluan.”, kata Zakiya. “Ya Allah.. kamu masih mengingat betul hal itu..”, jawabku terkaget. Kami memang pernah berikrar untuk selalu bersama di pondok apapun yang terjadi. “Ku kira itu hanya gurauan. Ternyata kamu menganggapnya sebuah keseriusan”, imbuhku.
“Kamu tahu nggak, aku sangat sedih saat tahu kamu akan kuliah. Karena itu berarti kamu pergi dan meninggalkanku.”, balas Zakiya. “Maaf, Ni. Aku tak bermaksud membuatmu sedih atau meninggalkanmu. Kita masing-masing mempunyai mimpi dan cita-cita. Tak mungkin bila kita selalu bersama. Untuk saat ini, biarlah aku pergi dan berjuang menuntut ilmu di tempat lain. Tapi aku yakin suatu saat nanti kita akan berjumpa dan bersama lagi dengan keadaan yang lebih baik.”, jelasku padanya. Zakiya pun mengangguk mengiyakan penjelasanku. Ku harap dia mau mengerti keinginanku.
Tiba-tiba Aida datang, “Wah.. lagi ngapain nih? Serius amat?”. “Ah enggak ada apa-apa kok. Cuma perpisahan”, jawabku. “Ciee.. perpisahan.. ayo dong makan-makan. Tuh di sana ada bancakan. Yuk, makan”, kata Aida. Kami pun bertiga menuju aula menikmati hidangan bancakan. Kali ini menunya nasi gudeg. Alhamdulillah.
Setelah semuanya jelas, beberapa hari kemudian aku bersama orangtuaku berpamitan ke ndalem dan teman-teman. Tak lupa aku berpamitan pada Zakiya, “Zak, aku pergi dulu ya..”. “Iya. Jaga diri baik-baik.. Semoga sukses”, jawabnya. Dia tersenyum. Entah mengapa spontan aku memeluknya dengan erat. Seakan aku benar-benar pergi jauh dan akan lama tak berjumpa dengannya.
Tak sadar air mata ini menetes teringat semua kenangan indah tiga tahun bersamanya. Ku lihat teman-teman lain turut berkaca-kaca melihat kami berpisah.  Dan itulah garis tuhan. Aku harus melanjutkan studi di perguruan tinggi sedangkan Zakiya masih tetap mengaji di pesantren.
Sebuah kenangan yang tak dapat aku lupakan bagaimana kami makan sering bersama dari sema’an nadhom imrithi, berangkat sekolah bersama, makan satu nampan, bercerita sebelum tidur, dan lainnya. Semua akan ku simpan dengan baik di kepala. Dan ku ceritakan kepada anakku kelak. Ibu punya teman baik di pesantren, namanya Zakiya.
Tak terasa sudah hampir pukul setengah tujuh. Peron sudah penuh dengan calon penumpang. Aku harus pergi melanjutkan studi untuk meraih cita-cita. Namaku Aini, 18 tahun. Aku berhasil meraih beasiswa santri berprestasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Jakarta. Sebuah mimpi yang coba aku wujudkan.

12 komentar:

AWAN MENDUNG

Gundukan tanah yang menyimpan banyak kisah. Tempat yang selalu aku kunjungi minimal satu minggu sekali. Banyak kenangan indah yang tersi...