Minggu, 19 Januari 2020

AWAN MENDUNG


Gundukan tanah yang menyimpan banyak kisah. Tempat yang selalu aku kunjungi minimal satu minggu sekali. Banyak kenangan indah yang tersimpan di sana. Aku dulu belum mengerti mengenai arti dari gundukan tanah tersebut. Gundukan tanah yang sekarang menjadi tempat bersemayam orang yang ku cintai. Gundukan tanah yang menjadi tempat paling ingin aku kunjungi. Tempat dimana aku menumpahkan semua rasa rinduku padanya. Seseorang yang sudah tak dapat aku temui di alam nyata. Karena dia sudah meninggalkanaku tanpa tau kapan akan mengunjungiku kembali.
Aku bukanlah gadis tangguh sebagaimana yang terlihat. Terdapat banyak luka yang harus aku simpan sendiri, lebih tepatnya dengan sang Illahi. Enam tahun silam Tuhan berkehendak lain. Aku yang seharusnya masih bersama dengan orang yang ku cintai, Tuhan telah memanggil seseorang tersebut. Enam tahun ku lalui hari-hariku dengan tawa palsu. Aku harus kuat. Aku sudah berjanji dengan dia jika aku bukanlah gadis cengeng yang manja.
Enam tahun silam tepatnya sebelum aku lulus sekolah dasar, aku sudah menjadi seorang piatu. Sementara teman-temanku masih mendapat kasih sayang seorang Ibu, aku bahkan sudah tak dapat lagi melihat wujud aslinya. Waktu itu aku belum mengerti arti dari sebuah kehilangan. Aku masih merasa biasa ketika ibu sudah meninggalkanku. Namun lambat laun aku menyadari bahwa ibuku telah pergi meninggalkan aku dan semua keluargaku. Dan aku baru menyadari jika rasa sesal akan hadir jika kita sudah kehilangan seseorang yang kita cinta benar-benar sudah pergi meninggalkan kita dan tak akan pernah kembali.
Tak bisa aku pungkiri, rasa iri pada teman-teman memang terkadang hadir dalam benak hati. Namun aku sesegera mungkin menyadari jika semua telah menjadi takdir Illahi. Aku tau manusia hanya bisa berencana tanpa mengetahui bagaimana takdir Tuhan yang telah digariskan pada makhluk-Nya. Tak ada yang spesial dalam hidupku setelah kepergiannya. Waktu itu aku merasa sudah tak memiliki arah tujuan hidup lagi.
Aku sudah tak memiliki alasan untuk membahagiakan siapapun. Ibu sudah bahagia di Surga, tinggal ayah dan ketiga saudaraku. Ketiga saudaraku sudah berkeluarga. Tinggallah aku dan ayah. Sungguh tak pernah terbayang dalam hidupku akan memiliki ibu tiri. Tuhan maha berkehendak, kalaupun aku tak pernah menginginkan hal itu terjadi. Namun apalah dayaku, semakin aku menolak semakin sakit pula perasaanku. Terkadang aku berfikir untuk apa aku menyalahkan keadaan jika kenyataannya memang seperti ini, ku rasa berdamai dengan keadaan akan lebih baik. Tapi itu bukanlah hal yang mudah tentunya.
Ku lalui hari-hariku seperti biasa, tak terasa aku sudah kelas 12. Sebentar lagi aku akan tamat SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku bermusyawarah dengan ayahku mengenai anganku yang ingin melanjutkan studi di perguruan tinggi. Ayah tak mengizinkanku untuk melanjutkan studi. Saat itu aku benar-benar tak sanggup dengan keputusan Ayah. Seolah beliau sudah mematahkan harapanku. Aku meminta tolong pada kakakku untuk membujuk ayah agar menyetujui keinginanku. Kakakku berusaha semaksimal mungkin untuk membujuk rayu ayahku agar mengizinkanku untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi. Ayahku luluh dengan bujukan tersebut. Aku diizinkan untuk melanjutkan ke dunia perkuliahan.
Masa SMA ku telah usai. Tentunya sudah tidak bersama dengan ibuku tercinta. Undangan wisuda untuk wali murid sudah diberikan. Aku meminta ayah untuk menghadiri acara wisudaku, namun alih-alih mendapat persetujuan, undangan tersebut malah dilimpahkan pada kakakku yang pertama untuk menghadiri. Tepat saat wisuda ayah benar-benar tak hadir. Satu-satunya orang tua kandungku yang sangat aku harapkan kehadirannya namun tak memeperdulikan hal tersebut. Aku seketika itu teringat pada ibu. Aku berandai-andai, seandainya ibu masih hidup di dunia ini pasi beliaulah yang akan menghadirinya. Hahaha….. tentu itu hanyalah pengandaian palsu, karena aku juga menyadari jika ibu tak akan mungkin lagi kembali ke dunia ini. Justru akulah yang dapat menyusulnya kesana.
Momen wisuda telah usai. Aku melanjutkan studi di perguruan tinggi yang sesuai dengan permintaan keluargaku. Aku awalnya tak terima, namun lambat laun aku berjanji pada diriku untuk lagi-lagi berdamai dengan keadaan. “Baiklah, aku akan menerima kenyataan ini. Jika aku memang ditakdirkan untuk disini pasti Tuhan telah menyiapkan sesuatu yang indah setelahnya”, ujarku pada diriku sendiri. Hari-hariku berjalan dengan damai, walau terkadang terdapat luka yang harus aku simpan rapat-rapat agar tak seorangpun mengetahui. Namun, sekuat apapun diriku. Aku tak mampu menyimpan luka itu sendiri. Minimal ada seseorang yang harus mendengarkan ceritaku, setidaknya aku sedikit merasa lega dan melepas satu beban dalam hidupku.
Kisahku telah usai, pesanku “Tolong hormati selagi masih ada, hargai selagi masih bersapa, sayangi dan cintai selagi masih bernyawa, dan lakukan hal baik lain yang tak melukai hatinya.”Kalaupun belum bisa membuatnya bahagia setidaknya jangan buat dia mengeluarkan air mata hanya karena kita yang membuatnya terluka. Sebelum rasa sesal itu hadir dan semuanya sia-sia karena sudah tak ada lagi yang dapat diperbaiki.
Aku Zakiya, gadis 19 tahun yang sejak kecil sudah ditinggal oleh ibunya. Kini aku masih mencoba untuk mengikhlaskannya, walau terkadang masih terbesit rasa tak terima dalam hati. Aku harus mengikhlaskannya, semoga Ibu selalu bahagia di Surga-Nya. Semoga aku selalu menjadi putri kebangaanmu Ibu. I Love You.

Minggu, 24 November 2019

Tentang Waktu


Sepenggal Kisah.......

Sungguh tidak mudah untuk terlihat baik-baik saja di hadapan banyak orang pada saat jiwa ini sedang merasa tak karuan.
Aku hanya bisa mengharapkan hadirmu dalam khayalku.
Hadirmu bahkan tidak nyata dalam hidupku. Kau hanyalah bayangan semu yang siap menghilang kapan saja tanpa mengetahui betapa hancurnya aku tanpa dirimu.
Asal kau tau. Kau adalah satu-satunya alasanku untuk terus menuntut ilmu. Tak ada satu orangpun yang berharga dalam hidupku selain dirimu.
Kau adalah alasan utamaku untuk selalu melupakan semua hal yang tidak penting. Kau tau, saat aku benar-benar tidak punya arah dalam hidup ini, aku teringat jika aku masih memiliki kamu untuk menjadi alasan utamaku menjadi lebih kuat.
Aku sangat berharap di tempatmu yang sekarang ini kau masih bisa melihatku dari sana. Kau selalu mengawasiku dari kejauhan. Dan aku harap kau juga tau bahwa disini aku sangat ingin berjumpa denganmu.
Aku ingin rasa rindu ini berujung dengan temu. Haha.. aku tau itu hanyalah hal yang palsu. Tapi aku tak bisa memungkiri bahwa aku memang rindu padamu.
Ah...aku sungguh tak tau apa yang saat ini aku tulis. Aku bahkan tak tau kemana arah berfikirku saat ini. Aku sedang kacau.
ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفي اللاخرة حسنة وقنا عذاب النار
 


Rabu, 18 September 2019
Masjid Agung Jepara

Rabu, 17 Juli 2019

Mimpi Indahku

Malam kian terasa sunyi, di sekeliling asrama putri tidak ada banyak aktifitas Semakin larut malam semua santri sudah tenggelam di alam mimpi hingga suara bel berbunyi memaksa mereka untuk bangun dari mimpi indahya. Pertanda untuk shalat subuh berjamaah selepas itu mengaji kitab salafi.
Pagi yang cerah menyapa dunia. Saat gerbang pesantren dibuka semua santri putra dan putri bergegas menuju ke sekolah. Semua murid memperhatikan pelajaran dengan sangat tawadhu’ berbeda denganku yang masih merasakan gundah didalam hati. Aku merindukan ayah dan ibu, aku ingin pulang. Namun jika aku pulang itu sama saja akan mengecewakan kedua orang tuaku. Aku harus bangkit, bersusah terlebih dahulu nanti akan kupetik bahagia setelahnya. Aku berjanji akan pulang dengan membawa segudang ilmu yangbermanfaat.
Matahari seakan berada diujung kepala saat waktu pulang sekolah. Aku bergegas untuk kembali ke pesantren. Setibanya dikamar aku berganti baju untuk bersiap-siap mengaji kitab. Tiba-tiba ada seorang santri yang menemuiku dan menyamapikan pesan bu nyai jika aku disuruh untuk menghadap bu nyai. Seketika itu aku marasa deg-degan. Fatma teman karibku mencoba menenangkanku. Toh aku juga tak merasa membuat kesalahan. Setibanya di ruangan bu nyai hatiku semakin tak karuan. Aku mengetuk pintu “Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam”. Bu nyai mempersilahkanku masuk dan meminta santri yang mengantarku bisa kembali lagi. “Kamu tadi dapat telfon dari ibumu, saudaramu akan ada yang menikah. Ummi mengizinkanmu untuk pulang tapi hanya dua hari. Baiklah kau bisa kembali ke kamarmu untuk berkemas”. Aku segera pamitan kepada ummi dan bergegas menuju kamar untuk berkemas, aku berpamitan  kepada Fatma dan teman-teman lainnya. Akhirnya waktu yang kutunggu tiba, aku pulang ke rumah, walaupun hanya dua hari itu sudah lebih dari cukup.
Ayah menjemputku di stasiun. Sepanjang perjalan ayah bertanya kepadaku mengenai aktiftasku di pesantren. Apakah aku betah di sana? Tentu saja karena aku banyak belajar di sana. Esok harinya acara pernikahan kakakku dimulai, karena memang acaranya pagi dan sorenya aku sudah harus kembali ke pesantren. Usai sholat dzuhur ayah kembali mengantarku ke stasiun. Keretaku masih tiba setengah jam lagi. Aku menuju bangku kosong dibawah pohon yang rindang. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mendekatiku.
“Mbaknya kenapa? Takut sama saya ya? Tenang aja mbak anggap saja kita seperti sudah lama kenal. Saya nggak mau ngapa-ngapain kok, cuman mau numpang duduk”.
“Tapi bukannya kita belum saling mengenal?”.
“Mbaknya kurang meresapi omongan saya. Kan hanya anggapan saja. Anggap saja jika kita sudah saling lama kenal”.
Tanpa disadari aku mengulurkan tanganku untuk berkenalan. Tapi dia tidak membalasnya. “Kenapa mas tidak mau saya ajak kenalan?”. “Apa arti sebuah nama dan pertemuan, pertemuan pertama akan mengisahkan sebuah rasa penasaran, pertemuan kedua akan mengisahkan sebuah rasa rindu, dan aku tak mau merindu, karena rindu itu sangat menyakitkan”. Begitulah ujarnya
Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, keretaku sudah datang terlebih dahulu dan ketika aku menengok ke arahnya sudah tak kutemukan lagi dirinya. Hanya sebuah buku notes yang aku temukan ditempat duduknya tadi. Aku mengambilnya. Di dalam kereta aku membukanya, baru satu lembar yang terisi:
Aku terpesona, pada seorang gadis yang duduk disampingku
Matanya yang indah, alisnya yang tebal
Apalagi ditambah balutan kain suci ditubuhnya
Sungguh elok parasnya.
Hatiku bergetar kala pertama kali memandangnya
Sebuah ungkapan yang meluluhkan hatiku. Aku dibuat rindu oleh sosok laki-laki misterius tadi. Setibanya di stasiun aku bergegas menuju ke pesantren. Aku sowan ke ummi dulu agar aku tidak dikira datang terlambat. Setelah itu aku bergegas menuju ke kamar. Teman-temanku semuanya rapi seperti hendak menyambut kedatangan seseorang. Aku bertanya pada Fatma, “Ada apa sih?”. “Itu loh putranya bu nyai Gus Hanan baru pulang dari Kairo, dan kami diminta untuk menyambutnya”. “Oh… aku nggak ikut gapapa ya, aku capek banget nih”. “Ya gapapa, nggak wajib kog”.
Saat aku sendiri di kamar, aku teringat lelaki itu. Aku merasa sangat dekat dengannya. Apakah aku mencintainya? Bahkan aku tidak tau siapa namanya. Aku terlena dengan fikiranku sendiri. Apakah di cinta pertamaku?
Sore harinya aku bersiap untuk mengaji kitab tafsir, saat ustadznya sudah datang aku sangat terkejut, dia adalah laki-laki yang aku temui di stasiun. Dia sempat melirik ke arahku dan memberikan senyum termanisnya. “Kamu tau nggak ustadz baru itu? Dia itu putranya bu nyai yang baru aja datang dari Kairo”, tukas Fatma. Aku bahkan sempat tak percaya. Tapi kini rasa penasaranku sudah terobati. Aku sekarang tau jika dia putra dari bu nyai. Akankah aku tetap menginkannya? Sedangkan aku hanya santri biasa yang masih belajar di pesantren ini. Ah bagai pungguk merindukan bulan. Aku berusaha melupakan semua kejadian di stasiun, paling dia hanya bercanda.
Tahun demi tahun berlalu. Aku sudah lulus dari pesantren dan aku kembali pulang kerumah. Genap seminggu aku dirumah Gus Hanan mengunjungi rumahku. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa dia kemari? Apakah ada kabar dari bu nyai? Tapi mengapa dia sendiri yang langsung datang? Bukankah bu nyai sudah tau nomor orang tuaku?.
Aku mempersilahkanya masuk dan duduk. Ku panggil ayahku untuk menemuinya. Siapa sangka kedatangannya kemari bukan untuk menyampaikan kabar dari bu nyai melainkan untuk memenuhi panggilan hati. Dia melamarku. Aku bersedia menerima lamarannya dan esok harinya dia datang kembali kerumahku. Kali ini dia tidak sendiri, dia bersama Abah dan Ummi. Mereka duduk diruang tamu bersama ayah, ibu, dan aku. Kami membicarakan kelanjutan mengenai lamarannya. Menentukan tanggal pernikahan dan urusan lainnya.
Pernikahan dilakukan beberapa minggu setelah pertemuan keluarga. Aku merasa sangat bahagia dan bersyukur kepada Allah karena telah mengabulkan doaku untuknya. Dialah laki-laki misterius yang selalu kusebut namanya dalam doaku “MuhammadAzmi Hanan” kini telah resmi menjadi suamiku “ Syareefa Habibah Putri”.
Tiba-tiba tubuhku merasa terguncang. “Putri, ayo bangun ngajinya udah selesai nih. Kamu dari awal ngaji sampai selesai tidur terus, tadi dilihatin Gus Hanan terus kamu”, Fatma membangunkaknu. Ternyata aku hanya bermimpi. Ah…betapa berharapnya aku menjadi istri seorang Gus, sampai terbawa mimpi pula.

Lelaki Misterius

Malam kian terasa sunyi, di sekeliling asrama putri tidak ada banyak aktifitas Semakin larut malam semua santri sudah tenggelam di alam mimpi hingga suara bel berbunyi memaksa mereka untuk bangun dari mimpi indahya. Pertanda untuk shalat subuh berjamaah selepas itu mengaji kitab salafi.
Pagi yang cerah menyapa dunia. Saat gerbang pesantren dibuka semua santri putra dan putri bergegas menuju ke sekolah. Semua murid memperhatikan pelajaran dengan sangat tawadhu’ berbeda denganku yang masih merasakan gundah didalam hati. Aku merindukan ayah dan ibu, aku ingin pulang. Namun jika aku pulang itu sama saja akan mengecewakan kedua orang tuaku. Aku harus bangkit, bersusah terlebih dahulu nanti akan kupetik bahagia setelahnya. Aku berjanji akan pulang dengan membawa segudang ilmu yangbermanfaat.
“Kamu kenapa sering melamun? Bukan kamu saja yang merasa seperti itu. Hampir semua santri baru merasakan hal yang sama. Kamu tak perlu merasa sendiri, kamu bisa menceritakan keluh kesahmu padaku. Aku siap mendengarkannya”. Tutur fatma, teman dekatku yang juga dari pesantren. “Makasih fatma, aku janji akan betah disini dan berjuang bersama-sama demi cita-cita kita”. Nasihat fatma benar-benar meyakinkanku dan memperkuat semangatku. Tak terasa sudah dua minggu aku di pesantren, banyak kisah dan ilmu yang kudapat. Ternyata menyenangkan hidup sederhana, makan apa adanya, kebersamaan tanpa pamrih. Sungguh hal ini tak akan aku dapatkan jika berada dirumah.
Matahari seakan berada diujung kepala saat waktu pulang sekolah. Aku bergegas untuk kembali ke pesantren. Setibanya dikamar aku berganti baju untuk bersiap-siap mengaji kitab. Tiba-tiba ada seorang santri yang menemuiku dan menyamapikan pesan bu nyai jika aku disuruh untuk menghadap bu nyai. Seketika itu aku marasa deg-degan. Fatma temanku mencoba menenangkanku. Toh aku juga tak merasa membuat kesalahan. Setibanya di ruangan bu nyai hatiku semakin tak karuan. Aku mengetuk pintu “Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam”. Bu nyai mempersilahkanku masuk dan meminta santri yang mengantarku bisa kembali lagi. “Kamu tadi dapat telfon dari ibumu, saudaramu akan ada yang menikah. Ummi mengizinkanmu untuk pulang tapi hanya dua hari. Baiklah kau bisa kembali ke kamarmu untuk berkemas”. Aku segera pamitan kepada ummi dan bergegas menuju kamar untuk berkemas, aku berpamitan  kepada Fatma dan teman-teman lainnya. Akhirnya waktu yang kutunggu tiba, aku pulang ke rumah, walaupun hanya dua hari itu sudah lebih dari cukup.
Ayah menjemputku di stasiun. Sepanjang perjalan ayah bertanya kepadaku mengenai aktiftasku di pesantren. Apakah aku betah di sana? Tentu saja karena aku banyak belajar di sana. Esok harinya acara pernikahan kakakku dimulai, karena memang acaranya pagi dan sorenya aku sudah harus kembali ke pesantren. Usai sholat dzuhur ayah kembali mengantarku ke stasiun. Keretaku masih tiba setengah jam lagi. Aku menuju bangku kosong dibawah pohon yang rindang. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mendekatiku.
“Mbaknya kenapa? Takut sama saya ya? Tenang aja mbak anggap saja kita seperti sudah lama kenal. Saya nggak mau ngapa-ngapain kok, cuman mau numpang duduk”.
“Tapi bukannya kita belum saling mengenal?”.
“Mbaknya kurang meresapi omongan saya. Kan hanya anggapan saja. Anggap saja jika kita sudah saling lama kenal”.
Tanpa disadari aku mengulurkan tanganku untuk berkenalan. Tapi dia tidak membalasnya. “Kenapa mas tidak mau saya ajak kenalan?”. “Apa arti sebuah nama dan pertemuan, pertemuan pertama akan mengisahkan sebuah rasa penasaran, pertemuan kedua akan mengisahkan sebuah rasa rindu, dan aku tak mau merindu, karena rindu itu sangat menyakitkan”. Begitulah ujarnya
Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, keretaku sudah datang terlebih dahulu dan ketika aku menengok ke arahnya sudah tak kutemukan lagi dirinya. Hanya sebuah buku notes yang aku temukan ditempat duduknya tadi. Aku mengambilnya. Di dalam kereta aku membukanya, baru satu lembar yang terisi:
Aku terpesona, pada seorang gadis yang duduk disampingku
Matanya yang indah, alisnya yang tebal
Apalagi ditambah balutan kain suci ditubuhnya
Sungguh elok parasnya.
Hatiku bergetar kala pertama kali memandangnya
Sebuah ungkapan yang meluluhkan hatiku. Aku dibuat rindu oleh sosok laki-laki misterius tadi. Setibanya di stasiun aku bergegas menuju ke pesantren. Aku sowan ke ummi dulu agar aku tidak dikira datang terlambat. Setelah itu aku bergegas menuju ke kamar. Teman-temanku semuanya rapi seperti hendak menyambut kedatangan seseorang. Aku bertanya pada Fatma, “Ada apa sih?”. “Itu loh putranya bu nyai Gus Hanan baru pulang dari Kairo, dan kami diminta untuk menyambutnya”. “Oh… aku nggak ikut gapapa ya, aku capek banget nih”. “Ya gapapa, nggak wajib kog”.
Saat aku sendiri di kamar, aku teringat lelaki itu. Aku merasa sangat dekat dengannya. Apakah aku mencintainya? Bahkan aku tidak tau siapa namanya. Aku terlena dengan fikiranku sendiri. Sore harinya aku bersiap untuk mengaji kitab tafsir, saat ustadznya sudah datang aku sangat terkejut, dia adalah laki-laki yang aku temui di stasiun. Dia sempat melirik ke arahku dan memberikan senyum termanisnya. “Kamu tau nggak ustadz baru itu? Dia itu putranya bu nyai yang baru aja datang dari Kairo”, tukas Fatma. Aku bahkan sempat tak percaya. Tapi kini rasa penasaranku sudah terobati. Aku sekarang tau jika dia putra dari bu nyai. Akankah aku tetap menginkannya? Sedangkan aku hanya santri biasa yang masih belajar di pesantren ini. Ah bagai pungguk merindukan bulan. Aku berusaha melupakan semua kejadian di stasiun, paling dia hanya bercanda.
Tahun demi tahun berlalu. Aku sudah lulus dari pesantren dan aku kembali pulang kerumah. Genap seminggu aku dirumah Gus Hanan mengunjungi rumahku. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa dia kemari? Apakah ada kabar dari bu nyai? Tapi mengapa dia sendiri yang langsung datang? Bukankah bu nyai sudah tau nomor orang tuaku?.
Aku mempersilahkanya masuk dan duduk. Ku panggil ayahku untuk menemuinya. Siapa sangka kedatangannya kemari bukan untuk menyampaikan kabar dari bu nyai melainkan untuk memenuhi panggilan hati. Dia melamarku. Aku bersedia menerima lamarannya dan esok harinya dia datang kembali kerumahku. Kali ini dia tidak sendiri, dia bersama Abah dan Ummi. Mereka duduk diruang tamu bersama ayah, ibu, dan aku. Kami membicarakan kelanjutan mengenai lamarannya. Menentukan tanggal pernikahan dan urusan lainnya.
Pernikahan dilakukan beberapa minggu setelah pertemuan keluarga. Aku merasa sangat bahagia dan bersyukur kepada Allah karena telah mengabulkan doaku untuknya. Dialah laki-laki misterius yang selalu kusebut namanya dalam doaku “MuhammadAzmi Hanan” kini telah resmi menjadi suamiku “ Syareefa Habibah Putri”.
Begitu banyak cara Tuhan mempertemukan jodoh seseorang. Meskipun hal itu terlihat tidak mungkin sekalipun. Jika Tuhan sudah berkehendak apapun bisa terjadi.

Selasa, 16 Juli 2019

Bersyukur Atas Nikmat Tuhan

Aku bersyukur atas semua nikmat dan karunia-Nya. Insya Allah aku juga akan bersyukur atas semua cobaan-Nya.

Aku bersyukur sudah terlahir didunia ini. Aku bisa melihat indahnya dunia dengan mataku. Aku bisa mendengar suara yang beragam dengan telingaku. Aku bisa menulis dengan tanganku. Aku bisa berjalan dengan kakiku, dan tentunya masih banyak lagi.
Aku tidak bisa menghitung seberapa banyak nikmat yang telah Tuhan berikan kepadaku. Karena tak terhitung jumlahnya.
Aku juga bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu menyayangiku. Walaupun ada satu kasih sayang yang tak mungkin bisa kumiliki lagi didunia ini.
Yaitu kasih sayangmu IBU, banyak orang yang menyayangiku tapi tak ada satu orangpun yang menyayangiku melebihi kasih sayangmu😘. Kasih sayangmu segalanya bagiku Bu..❣️

Terimakasih Tuhan untuk segala nikmat dan ujian-Mu. Rencana-Mu selalu lebih indah dari rencana makhluk-Mu.

Semua akan indah pada waktunya. Thanks God😊

Merindukanmu

Enam tahun sudah berlalu, tapi kenapa semua kenangan indah bersamanya masih tersimpan rapi dalam memori otakku.
Sungguh hati ini masih amat merindukannya walaupun enam tahun  telah berlalu.
Sekarang kita benar-benar sangat jauh
Maafkan aku yang sudah lama tak mengunjungi rumahmu😢. Aku merindukanmu, rindu yang tak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Maaf jika aku belum bisa membuatmu bangga karenaku.
Maaf jika aku hanya bisa merindukanmu dan mendoakanmu tanpa bisa menemuimu.
Tapi sebenarnya diri ini ingin sekali bertemu denganmu walau hanya lewat mimpi sekalipun.
Aku tau keinginanku untuk bertemu denganmu hanyalah khayalan bagiku. Tapi kenapa aku harus memiliki keinginan itu? Padahal jelas-jelas aku tau itu tak akan menjadi nyata.
Karena aku sangat menyayangimu 😭aku sangat merindukanmu 😭aku ingin bertemu denganmu 😭😭
Ibu 😘😘semoga kau ditempatkan di surga-Nya. Doaku selalu menyertaimu😘

Kamis, 01 November 2018

BERPISAH DENGAN ZAKIYA

“Pak.. Ngebut sedikit bisa, Pak?, kataku pada driver Gojek. Hari ini aku buru-buru mengejar kereta ke Jakarta. Petang hari seperti ini memang waktu padat-padatnya jalanan Demak-Semarang, jam kapan karyawan pabrik pulang ke rumah. “Iya, Mbak. Saya usahakan tepat waktu sampai tujuan”, kata Pak driver.
Motor melaju kencang di antara truk-truk besar menyusuri jalan Pantura. Aku terus membaca shalawat nabi, berharap semua baik-baik saja. Cuaca mendung sedari ashar, beruntung tak turun hujan. Alhamdulillah, ku rasa Allah sedang baik padaku.
Pukul enam aku sampai di stasiun Poncol Semarang. Tepat setengah jam lagi kereta berangkat. Segera aku menuju petugas boarding dan menunjukkan tiket. Aku masuk ke peron dan mencari kursi. Ku tarik nafas dalam-dalam mensyukuri segala karunia yang Allah berikan. Aku senyum-senyum sendiri sambil menggelengkan kepala, “Ya Allah.. terimakasih atas segala nikmat yang engkau berikan. Tanpamu aku bukan apa-apa”.
Segera aku buka Whatsapp dan berbalas pesan singkat dengan Zakiya, temanku saat aku masih di pesantren. Dia sedang di rumah.
“Zak, aku wis tekan Poncol”, kataku
“Oh ya.. jajal selfie ah”, balas zakiya
"(mengirim gambar senyum dengan background kereta)", balasku
“Wah.. senangnya.. hati-hati ya di perjalanan.. semoga selamat sampai tujuan”, pesan Zakiya padaku.
Zakiya adalah teman terbaikku. Dia masuk pondok bersama denganku. Entah kebetulan atau tidak, kami juga berada dalam kamar dan kelas yang sama. Tak butuh waktu lama, kami pun akrab bagai saudara kandung.
Sebuah hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku menjadi seorang santri di pondok pesantren. Aku yang dulu suka jalan-jalan, sekarang tak lagi. Tak ada televisi, tak ada pula telepon genggam.
Bosan? Ya, sedikit. Tapi aku memiliki banyak saudara baru di sini. Kami tak hanya sebatas teman biasa. Mengapa? Karena setiap hari kami bertemu. Mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Apa-apa kami lakukan bersama. Ngaji bersama, bersih-bersih bersama, kerja bakti bersama, dan makan juga bersama.
Ada hal yang menarik di pesantren. Di sini kami tidak menggunakan piring sebagai tempat makanan, tapi nampan. Hal yang tak pernah aku dapati saat di rumah. Semula aku malu-malu. Saat yang lain makan dengan lahap aku hanya diam dan sedikit risih. “Ih, mereka kok bisa ya makan satu nampan. Apa nggak ada piring?. Apa mereka nggak risih?”, gumamku dalam hati.
“Hei.. kenapa melamun? Ayo makan!”, kata Zakiya. “E.. iya..”, jawabku. Aku mulai mengambil sesuap nasi dan ku masukkan ke dalam mulut. Ku kunyah pelan-pelan merasakan sensasi makan dengan gaya baru. “Gimana, enak?”, tanya Zakiya. “Iya..”, jawabku. “Makanya.. makan ya makan aja.. halal kok”, balas Zakiya. Kami semua tertawa sambil menikmati hidangan. Jadi, Zakiyalah yang mengajariku makan bersama dengan nampan.
Sejak saat itu, makan ramai-ramai dengan satu nampan menjadi hal yang sangat nikmat bagiku. Kesederhanaan, kebersamaan, berbagi, dari sanalah kami mempelajarinya. Bagaimana kami perlu mencuil tempe sekecil mungkin agar teman yang lain kebagian. Dan bagaimana kami saling support untuk menghabiskan makanan.
Aku teringat ketika Zakiya berulang tahun. Dia melaksanakannya seminggu setelah hari ulang tahunnya. Di pesantren, kalau ada santri yang punya hajat, dia akan membagi “bancakan”. Waktu itu Zakiya membagi sego janganan, dengan wadah nampan tentunya. Kami semua makan bersama dan bersukacita.
Teman-teman mengucapkan selamat, begitu juga denganku. “Selamat ulang tahun yang ke-17 lebih empat hari ya..”, kataku. Dia tertawa terbahak-bahak. “Kenapa bancakannya sekarang? Kok tidak empat hari yang lalu?”, lanjutku. Dia meringis dan menjawab, “Maunya sih empat hari yang lalu. “Terus?”, tanyaku. “Kan kemarin kamu pulang. Kalau aku merayakan ulang tahun tapi tidak ada kamu rasanya hambar”, jawabnya sambil tertawa lebar. Aku jadi sedikit terharu. Dia sangat baik dan perhatian padaku.
Satu kali aku pernah sakit di pondok. Aku tak bisa kemana-mana, hanya terbaring di kamar. Jangankan berjalan, duduk saja aku tak kuat. Di sanalah Zakiya menjadi pahlawan. Dia rela menghabiskan waktunya untuk menemaniku. Dia merawatku dengan baik hingga aku sembuh.
Hingga aku tanya kepadanya, “Zakiya, kamu kok baik banget kepadaku?”. Dia menjawab, “Baik ya baik saja. Nggak peduli kepada siapa”. “Terus apa yang kamu dapat dari kebaikanmu kepada orang lain?”, tanyaku. “Ya kan kita percaya bahwa kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan. Wa man ya’mal mitsqola dzarrotin khoiron yaroh”, jawabnya. “Lha kalau orang yang kamu baiki nggak baik kepadamu?”, tanyaku mulai aneh-aneh. “Orang seperti itu perlu dikasih nasi satu nampan”, jawabnya agak cemberut. “Terus?”, tanyaku. “Terus jangan lupa kasih sianida. haha”, jawabnya. Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Dia memang suka melucu.
Namun begitu persahabatan kami sempat renggang. Waktu itu kami kelas 2 MA. Aku bercerita dengannya mengenai anganku. “Zak, setelah lulus MA kamu mau nerusin kuliah atau nerusin ngajimu?”, tanyaku. Tetapi, dia hanya merespon dengan senyuman tanpa jawaban yang pasti.
Ulangan akhir semester sebentar lagi. Aku lebih giat belajar sedangkan Zakiya lebih giat menggangguku untuk tidak belajar. Aku bertanya lagi padanya, “Kamu setelah lulus MA mau ke mana?”. Berkali-kali aku memberi pertanyaan yang sama dan ia jawab pula dengan jawaban yang sama “senyuman”. Aku bosan dengan sikapnya yang seperti itu.
Zakiya memiliki kepribadian yang bertolak belakang denganku. Aku memiliki karakter yang tidak bisa diam, aku banyak bercerita tentang ini itu padanya. Sedangkan dia seorang pendiam. Dia tidak terlalu banyak bicara tidak pula banyak bercerita padaku. Menurutku dia lebih tepat aku sebut sebagai pendengar setia saat aku bercerita. Dia hanya mengangguk dan memberi tanggapan seperlunya.
Hingga suatu hari akhirnya Zakiya mau bicara. “Zakiya, kamu pengen nerusin kuliah nggak?”, tanyaku padanya. “Tidak, Ni. Aku ingin ngaji di pondok saja. Kamu tahu, kan aku tak sepandai kamu dalam pelajaran. Hafalanku saja banyak yang bolong”, jawabnya.
Jujur aku sangat sedih. Dibalik pertanyaanku sesungguhnya aku ingin sekali dapat melanjutkan kuliah bersamanya dan melanjutkan keakraban yang selama ini kami pelihara. Aku ingin lebih lama dekat bersama dirinya. Namun, apa daya. Semua keputusan ada pada diri masing-masing. Tak ada yang bisa menentukan masa depanmu selain dirimu sendiri. “Ya sudah, lakukanlah apa yang membuatmu nyaman”, pesanku pada Zakiya.
Setelah kejadian itu, Aku dan Zakiya masih berhubungan baik. Namun, dia agak berubah. Dia tidak seperti yang dulu aku kenal. Sekarang dia sensitif. Jika aku berbicara tentang dunia perkuliahan dia hanya diam, setelah itu pergi entah kemana tanpa sepatah kata. Setelahnya aku didiamkan berhari-hari. Dan kami semakin menjauh.
Aku bercerita mengenai hal itu pada Aida, kakak tingkatku yang juga memilih meneruskan mengaji di pondok. Berbeda dengan Zakiya, setidaknya Aida masih mau memberi tanggapan jika aku bercerita tentang kuliah. “Aida.. Kamu ngerasa nggak sih kalau Zakiya sekarang itu berbeda?, Dia nggak kayak Zakiya yang dulu aku kenal”, kataku. “Sekarang dia lebih sensitif padaku, apalagi jika aku bercerita tentang keinginanku yang hendak melanjutkan sekolah ke PTN dan keluar dari pesantren. Dia pasti langsung mendiamkanku berhari-hari”, lanjutku berapi-api. Aida hanya tersenyum seakan paham apa yang aku rasakan. “Mungkin kamu punya kesalahan sama dia”, jawabnya.
Aku merasa Aida ada benarnya juga, tapi aku malu untuk menanyakannya kepada Zakiya. Untuk sekedar berbicara saja aku masih sungkan apalagi bertanya-tanya padanya?. Saat itu aku benar-benar tidak tau harus berbuat apa. Aku pasrah dengan waktu. Biarlah waktu yang memperbaiki segalanya karena tak ada luka yang bisa sembuh dengan seketika.
Aida sekarang menjadi teman dekatku. Aku banyak bercerita dengannya. Aku belajar dengannya, makan bersamanya dan tidur juga. Zakiya mengetahuinya dan hanya memasang wajah datar saat berpapasan dengan kami. Aku merasa tak enak hati dengan Zakiya. Mungkin dia menyangka aku tak lagi mau berteman dengannya.
Ujian nasional sudah di depan mata. Aku mulai belajar sungguh-sungguh, begitu juga dengan Zakiya. Tak lupa aku bersama teman-teman lainnya meminta doa dan amalan ke abah agar diberikan kemudahan dalam menghadapi ujian. Lalu kami diberi ijazah poso mutih, yaitu puasa dalam waktu tertentu dan berbuka tanpa makanan yang bernyawa. Kami melaksanakan puasa selama tiga hari berturut-turut. Dan selama itu kami makan secara terpisah dari kelompok lain. Khusus nampan kami tidak boleh ada garam, mecin, daging, dan telur.
Akhirnya, hari Ujian Nasional sudah tiba. Aku mengikutinya dengan baik. Dan bersyukur, aku mendapatkan nilai yang cukup memuaskan. Tak sia-sia aku belajar dengan giat setiap hari. Jauh-jauh hari aku juga sudah belajar untuk persiapan mengikuti seleksi masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), karena dari awal masuk MA aku sudah bercita-cita untuk masuk ke PTN. Hingga kemudian aku diterima di sebuah universitas negeri di Jakarta setelah mengikuti serangkaian seleksi. Kini hari-hariku ku isi dengan persiapan kuliah penuh sukacita.
Bagaimana dengan Zakiya? Apakah aku melupakannya? Tidak. Sebelum aku lulus MA dan meninggalkan pesantren aku mengajak Zakiya untuk berbicara empat mata. Aku mau dia menjelaskan alasan kenapa dia mendiamkanku.
“Aku marah padamu, Ni. Kenapa kau meninggalkanku. Bukannya dulu kamu pernah berjanji padaku. Kita masuk di sini bersama, maka kita juga keluar dari sini bersama. Tapi kamu malah meninggalkanku duluan.”, kata Zakiya. “Ya Allah.. kamu masih mengingat betul hal itu..”, jawabku terkaget. Kami memang pernah berikrar untuk selalu bersama di pondok apapun yang terjadi. “Ku kira itu hanya gurauan. Ternyata kamu menganggapnya sebuah keseriusan”, imbuhku.
“Kamu tahu nggak, aku sangat sedih saat tahu kamu akan kuliah. Karena itu berarti kamu pergi dan meninggalkanku.”, balas Zakiya. “Maaf, Ni. Aku tak bermaksud membuatmu sedih atau meninggalkanmu. Kita masing-masing mempunyai mimpi dan cita-cita. Tak mungkin bila kita selalu bersama. Untuk saat ini, biarlah aku pergi dan berjuang menuntut ilmu di tempat lain. Tapi aku yakin suatu saat nanti kita akan berjumpa dan bersama lagi dengan keadaan yang lebih baik.”, jelasku padanya. Zakiya pun mengangguk mengiyakan penjelasanku. Ku harap dia mau mengerti keinginanku.
Tiba-tiba Aida datang, “Wah.. lagi ngapain nih? Serius amat?”. “Ah enggak ada apa-apa kok. Cuma perpisahan”, jawabku. “Ciee.. perpisahan.. ayo dong makan-makan. Tuh di sana ada bancakan. Yuk, makan”, kata Aida. Kami pun bertiga menuju aula menikmati hidangan bancakan. Kali ini menunya nasi gudeg. Alhamdulillah.
Setelah semuanya jelas, beberapa hari kemudian aku bersama orangtuaku berpamitan ke ndalem dan teman-teman. Tak lupa aku berpamitan pada Zakiya, “Zak, aku pergi dulu ya..”. “Iya. Jaga diri baik-baik.. Semoga sukses”, jawabnya. Dia tersenyum. Entah mengapa spontan aku memeluknya dengan erat. Seakan aku benar-benar pergi jauh dan akan lama tak berjumpa dengannya.
Tak sadar air mata ini menetes teringat semua kenangan indah tiga tahun bersamanya. Ku lihat teman-teman lain turut berkaca-kaca melihat kami berpisah.  Dan itulah garis tuhan. Aku harus melanjutkan studi di perguruan tinggi sedangkan Zakiya masih tetap mengaji di pesantren.
Sebuah kenangan yang tak dapat aku lupakan bagaimana kami makan sering bersama dari sema’an nadhom imrithi, berangkat sekolah bersama, makan satu nampan, bercerita sebelum tidur, dan lainnya. Semua akan ku simpan dengan baik di kepala. Dan ku ceritakan kepada anakku kelak. Ibu punya teman baik di pesantren, namanya Zakiya.
Tak terasa sudah hampir pukul setengah tujuh. Peron sudah penuh dengan calon penumpang. Aku harus pergi melanjutkan studi untuk meraih cita-cita. Namaku Aini, 18 tahun. Aku berhasil meraih beasiswa santri berprestasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Aku mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Jakarta. Sebuah mimpi yang coba aku wujudkan.

AWAN MENDUNG

Gundukan tanah yang menyimpan banyak kisah. Tempat yang selalu aku kunjungi minimal satu minggu sekali. Banyak kenangan indah yang tersi...