Rabu, 17 Juli 2019

Mimpi Indahku

Malam kian terasa sunyi, di sekeliling asrama putri tidak ada banyak aktifitas Semakin larut malam semua santri sudah tenggelam di alam mimpi hingga suara bel berbunyi memaksa mereka untuk bangun dari mimpi indahya. Pertanda untuk shalat subuh berjamaah selepas itu mengaji kitab salafi.
Pagi yang cerah menyapa dunia. Saat gerbang pesantren dibuka semua santri putra dan putri bergegas menuju ke sekolah. Semua murid memperhatikan pelajaran dengan sangat tawadhu’ berbeda denganku yang masih merasakan gundah didalam hati. Aku merindukan ayah dan ibu, aku ingin pulang. Namun jika aku pulang itu sama saja akan mengecewakan kedua orang tuaku. Aku harus bangkit, bersusah terlebih dahulu nanti akan kupetik bahagia setelahnya. Aku berjanji akan pulang dengan membawa segudang ilmu yangbermanfaat.
Matahari seakan berada diujung kepala saat waktu pulang sekolah. Aku bergegas untuk kembali ke pesantren. Setibanya dikamar aku berganti baju untuk bersiap-siap mengaji kitab. Tiba-tiba ada seorang santri yang menemuiku dan menyamapikan pesan bu nyai jika aku disuruh untuk menghadap bu nyai. Seketika itu aku marasa deg-degan. Fatma teman karibku mencoba menenangkanku. Toh aku juga tak merasa membuat kesalahan. Setibanya di ruangan bu nyai hatiku semakin tak karuan. Aku mengetuk pintu “Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam”. Bu nyai mempersilahkanku masuk dan meminta santri yang mengantarku bisa kembali lagi. “Kamu tadi dapat telfon dari ibumu, saudaramu akan ada yang menikah. Ummi mengizinkanmu untuk pulang tapi hanya dua hari. Baiklah kau bisa kembali ke kamarmu untuk berkemas”. Aku segera pamitan kepada ummi dan bergegas menuju kamar untuk berkemas, aku berpamitan  kepada Fatma dan teman-teman lainnya. Akhirnya waktu yang kutunggu tiba, aku pulang ke rumah, walaupun hanya dua hari itu sudah lebih dari cukup.
Ayah menjemputku di stasiun. Sepanjang perjalan ayah bertanya kepadaku mengenai aktiftasku di pesantren. Apakah aku betah di sana? Tentu saja karena aku banyak belajar di sana. Esok harinya acara pernikahan kakakku dimulai, karena memang acaranya pagi dan sorenya aku sudah harus kembali ke pesantren. Usai sholat dzuhur ayah kembali mengantarku ke stasiun. Keretaku masih tiba setengah jam lagi. Aku menuju bangku kosong dibawah pohon yang rindang. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mendekatiku.
“Mbaknya kenapa? Takut sama saya ya? Tenang aja mbak anggap saja kita seperti sudah lama kenal. Saya nggak mau ngapa-ngapain kok, cuman mau numpang duduk”.
“Tapi bukannya kita belum saling mengenal?”.
“Mbaknya kurang meresapi omongan saya. Kan hanya anggapan saja. Anggap saja jika kita sudah saling lama kenal”.
Tanpa disadari aku mengulurkan tanganku untuk berkenalan. Tapi dia tidak membalasnya. “Kenapa mas tidak mau saya ajak kenalan?”. “Apa arti sebuah nama dan pertemuan, pertemuan pertama akan mengisahkan sebuah rasa penasaran, pertemuan kedua akan mengisahkan sebuah rasa rindu, dan aku tak mau merindu, karena rindu itu sangat menyakitkan”. Begitulah ujarnya
Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, keretaku sudah datang terlebih dahulu dan ketika aku menengok ke arahnya sudah tak kutemukan lagi dirinya. Hanya sebuah buku notes yang aku temukan ditempat duduknya tadi. Aku mengambilnya. Di dalam kereta aku membukanya, baru satu lembar yang terisi:
Aku terpesona, pada seorang gadis yang duduk disampingku
Matanya yang indah, alisnya yang tebal
Apalagi ditambah balutan kain suci ditubuhnya
Sungguh elok parasnya.
Hatiku bergetar kala pertama kali memandangnya
Sebuah ungkapan yang meluluhkan hatiku. Aku dibuat rindu oleh sosok laki-laki misterius tadi. Setibanya di stasiun aku bergegas menuju ke pesantren. Aku sowan ke ummi dulu agar aku tidak dikira datang terlambat. Setelah itu aku bergegas menuju ke kamar. Teman-temanku semuanya rapi seperti hendak menyambut kedatangan seseorang. Aku bertanya pada Fatma, “Ada apa sih?”. “Itu loh putranya bu nyai Gus Hanan baru pulang dari Kairo, dan kami diminta untuk menyambutnya”. “Oh… aku nggak ikut gapapa ya, aku capek banget nih”. “Ya gapapa, nggak wajib kog”.
Saat aku sendiri di kamar, aku teringat lelaki itu. Aku merasa sangat dekat dengannya. Apakah aku mencintainya? Bahkan aku tidak tau siapa namanya. Aku terlena dengan fikiranku sendiri. Apakah di cinta pertamaku?
Sore harinya aku bersiap untuk mengaji kitab tafsir, saat ustadznya sudah datang aku sangat terkejut, dia adalah laki-laki yang aku temui di stasiun. Dia sempat melirik ke arahku dan memberikan senyum termanisnya. “Kamu tau nggak ustadz baru itu? Dia itu putranya bu nyai yang baru aja datang dari Kairo”, tukas Fatma. Aku bahkan sempat tak percaya. Tapi kini rasa penasaranku sudah terobati. Aku sekarang tau jika dia putra dari bu nyai. Akankah aku tetap menginkannya? Sedangkan aku hanya santri biasa yang masih belajar di pesantren ini. Ah bagai pungguk merindukan bulan. Aku berusaha melupakan semua kejadian di stasiun, paling dia hanya bercanda.
Tahun demi tahun berlalu. Aku sudah lulus dari pesantren dan aku kembali pulang kerumah. Genap seminggu aku dirumah Gus Hanan mengunjungi rumahku. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa dia kemari? Apakah ada kabar dari bu nyai? Tapi mengapa dia sendiri yang langsung datang? Bukankah bu nyai sudah tau nomor orang tuaku?.
Aku mempersilahkanya masuk dan duduk. Ku panggil ayahku untuk menemuinya. Siapa sangka kedatangannya kemari bukan untuk menyampaikan kabar dari bu nyai melainkan untuk memenuhi panggilan hati. Dia melamarku. Aku bersedia menerima lamarannya dan esok harinya dia datang kembali kerumahku. Kali ini dia tidak sendiri, dia bersama Abah dan Ummi. Mereka duduk diruang tamu bersama ayah, ibu, dan aku. Kami membicarakan kelanjutan mengenai lamarannya. Menentukan tanggal pernikahan dan urusan lainnya.
Pernikahan dilakukan beberapa minggu setelah pertemuan keluarga. Aku merasa sangat bahagia dan bersyukur kepada Allah karena telah mengabulkan doaku untuknya. Dialah laki-laki misterius yang selalu kusebut namanya dalam doaku “MuhammadAzmi Hanan” kini telah resmi menjadi suamiku “ Syareefa Habibah Putri”.
Tiba-tiba tubuhku merasa terguncang. “Putri, ayo bangun ngajinya udah selesai nih. Kamu dari awal ngaji sampai selesai tidur terus, tadi dilihatin Gus Hanan terus kamu”, Fatma membangunkaknu. Ternyata aku hanya bermimpi. Ah…betapa berharapnya aku menjadi istri seorang Gus, sampai terbawa mimpi pula.

Lelaki Misterius

Malam kian terasa sunyi, di sekeliling asrama putri tidak ada banyak aktifitas Semakin larut malam semua santri sudah tenggelam di alam mimpi hingga suara bel berbunyi memaksa mereka untuk bangun dari mimpi indahya. Pertanda untuk shalat subuh berjamaah selepas itu mengaji kitab salafi.
Pagi yang cerah menyapa dunia. Saat gerbang pesantren dibuka semua santri putra dan putri bergegas menuju ke sekolah. Semua murid memperhatikan pelajaran dengan sangat tawadhu’ berbeda denganku yang masih merasakan gundah didalam hati. Aku merindukan ayah dan ibu, aku ingin pulang. Namun jika aku pulang itu sama saja akan mengecewakan kedua orang tuaku. Aku harus bangkit, bersusah terlebih dahulu nanti akan kupetik bahagia setelahnya. Aku berjanji akan pulang dengan membawa segudang ilmu yangbermanfaat.
“Kamu kenapa sering melamun? Bukan kamu saja yang merasa seperti itu. Hampir semua santri baru merasakan hal yang sama. Kamu tak perlu merasa sendiri, kamu bisa menceritakan keluh kesahmu padaku. Aku siap mendengarkannya”. Tutur fatma, teman dekatku yang juga dari pesantren. “Makasih fatma, aku janji akan betah disini dan berjuang bersama-sama demi cita-cita kita”. Nasihat fatma benar-benar meyakinkanku dan memperkuat semangatku. Tak terasa sudah dua minggu aku di pesantren, banyak kisah dan ilmu yang kudapat. Ternyata menyenangkan hidup sederhana, makan apa adanya, kebersamaan tanpa pamrih. Sungguh hal ini tak akan aku dapatkan jika berada dirumah.
Matahari seakan berada diujung kepala saat waktu pulang sekolah. Aku bergegas untuk kembali ke pesantren. Setibanya dikamar aku berganti baju untuk bersiap-siap mengaji kitab. Tiba-tiba ada seorang santri yang menemuiku dan menyamapikan pesan bu nyai jika aku disuruh untuk menghadap bu nyai. Seketika itu aku marasa deg-degan. Fatma temanku mencoba menenangkanku. Toh aku juga tak merasa membuat kesalahan. Setibanya di ruangan bu nyai hatiku semakin tak karuan. Aku mengetuk pintu “Assalamu’alaikum”. “Wa’alaikum salam”. Bu nyai mempersilahkanku masuk dan meminta santri yang mengantarku bisa kembali lagi. “Kamu tadi dapat telfon dari ibumu, saudaramu akan ada yang menikah. Ummi mengizinkanmu untuk pulang tapi hanya dua hari. Baiklah kau bisa kembali ke kamarmu untuk berkemas”. Aku segera pamitan kepada ummi dan bergegas menuju kamar untuk berkemas, aku berpamitan  kepada Fatma dan teman-teman lainnya. Akhirnya waktu yang kutunggu tiba, aku pulang ke rumah, walaupun hanya dua hari itu sudah lebih dari cukup.
Ayah menjemputku di stasiun. Sepanjang perjalan ayah bertanya kepadaku mengenai aktiftasku di pesantren. Apakah aku betah di sana? Tentu saja karena aku banyak belajar di sana. Esok harinya acara pernikahan kakakku dimulai, karena memang acaranya pagi dan sorenya aku sudah harus kembali ke pesantren. Usai sholat dzuhur ayah kembali mengantarku ke stasiun. Keretaku masih tiba setengah jam lagi. Aku menuju bangku kosong dibawah pohon yang rindang. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang mendekatiku.
“Mbaknya kenapa? Takut sama saya ya? Tenang aja mbak anggap saja kita seperti sudah lama kenal. Saya nggak mau ngapa-ngapain kok, cuman mau numpang duduk”.
“Tapi bukannya kita belum saling mengenal?”.
“Mbaknya kurang meresapi omongan saya. Kan hanya anggapan saja. Anggap saja jika kita sudah saling lama kenal”.
Tanpa disadari aku mengulurkan tanganku untuk berkenalan. Tapi dia tidak membalasnya. “Kenapa mas tidak mau saya ajak kenalan?”. “Apa arti sebuah nama dan pertemuan, pertemuan pertama akan mengisahkan sebuah rasa penasaran, pertemuan kedua akan mengisahkan sebuah rasa rindu, dan aku tak mau merindu, karena rindu itu sangat menyakitkan”. Begitulah ujarnya
Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, keretaku sudah datang terlebih dahulu dan ketika aku menengok ke arahnya sudah tak kutemukan lagi dirinya. Hanya sebuah buku notes yang aku temukan ditempat duduknya tadi. Aku mengambilnya. Di dalam kereta aku membukanya, baru satu lembar yang terisi:
Aku terpesona, pada seorang gadis yang duduk disampingku
Matanya yang indah, alisnya yang tebal
Apalagi ditambah balutan kain suci ditubuhnya
Sungguh elok parasnya.
Hatiku bergetar kala pertama kali memandangnya
Sebuah ungkapan yang meluluhkan hatiku. Aku dibuat rindu oleh sosok laki-laki misterius tadi. Setibanya di stasiun aku bergegas menuju ke pesantren. Aku sowan ke ummi dulu agar aku tidak dikira datang terlambat. Setelah itu aku bergegas menuju ke kamar. Teman-temanku semuanya rapi seperti hendak menyambut kedatangan seseorang. Aku bertanya pada Fatma, “Ada apa sih?”. “Itu loh putranya bu nyai Gus Hanan baru pulang dari Kairo, dan kami diminta untuk menyambutnya”. “Oh… aku nggak ikut gapapa ya, aku capek banget nih”. “Ya gapapa, nggak wajib kog”.
Saat aku sendiri di kamar, aku teringat lelaki itu. Aku merasa sangat dekat dengannya. Apakah aku mencintainya? Bahkan aku tidak tau siapa namanya. Aku terlena dengan fikiranku sendiri. Sore harinya aku bersiap untuk mengaji kitab tafsir, saat ustadznya sudah datang aku sangat terkejut, dia adalah laki-laki yang aku temui di stasiun. Dia sempat melirik ke arahku dan memberikan senyum termanisnya. “Kamu tau nggak ustadz baru itu? Dia itu putranya bu nyai yang baru aja datang dari Kairo”, tukas Fatma. Aku bahkan sempat tak percaya. Tapi kini rasa penasaranku sudah terobati. Aku sekarang tau jika dia putra dari bu nyai. Akankah aku tetap menginkannya? Sedangkan aku hanya santri biasa yang masih belajar di pesantren ini. Ah bagai pungguk merindukan bulan. Aku berusaha melupakan semua kejadian di stasiun, paling dia hanya bercanda.
Tahun demi tahun berlalu. Aku sudah lulus dari pesantren dan aku kembali pulang kerumah. Genap seminggu aku dirumah Gus Hanan mengunjungi rumahku. Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa dia kemari? Apakah ada kabar dari bu nyai? Tapi mengapa dia sendiri yang langsung datang? Bukankah bu nyai sudah tau nomor orang tuaku?.
Aku mempersilahkanya masuk dan duduk. Ku panggil ayahku untuk menemuinya. Siapa sangka kedatangannya kemari bukan untuk menyampaikan kabar dari bu nyai melainkan untuk memenuhi panggilan hati. Dia melamarku. Aku bersedia menerima lamarannya dan esok harinya dia datang kembali kerumahku. Kali ini dia tidak sendiri, dia bersama Abah dan Ummi. Mereka duduk diruang tamu bersama ayah, ibu, dan aku. Kami membicarakan kelanjutan mengenai lamarannya. Menentukan tanggal pernikahan dan urusan lainnya.
Pernikahan dilakukan beberapa minggu setelah pertemuan keluarga. Aku merasa sangat bahagia dan bersyukur kepada Allah karena telah mengabulkan doaku untuknya. Dialah laki-laki misterius yang selalu kusebut namanya dalam doaku “MuhammadAzmi Hanan” kini telah resmi menjadi suamiku “ Syareefa Habibah Putri”.
Begitu banyak cara Tuhan mempertemukan jodoh seseorang. Meskipun hal itu terlihat tidak mungkin sekalipun. Jika Tuhan sudah berkehendak apapun bisa terjadi.

Selasa, 16 Juli 2019

Bersyukur Atas Nikmat Tuhan

Aku bersyukur atas semua nikmat dan karunia-Nya. Insya Allah aku juga akan bersyukur atas semua cobaan-Nya.

Aku bersyukur sudah terlahir didunia ini. Aku bisa melihat indahnya dunia dengan mataku. Aku bisa mendengar suara yang beragam dengan telingaku. Aku bisa menulis dengan tanganku. Aku bisa berjalan dengan kakiku, dan tentunya masih banyak lagi.
Aku tidak bisa menghitung seberapa banyak nikmat yang telah Tuhan berikan kepadaku. Karena tak terhitung jumlahnya.
Aku juga bersyukur memiliki keluarga dan teman-teman yang selalu menyayangiku. Walaupun ada satu kasih sayang yang tak mungkin bisa kumiliki lagi didunia ini.
Yaitu kasih sayangmu IBU, banyak orang yang menyayangiku tapi tak ada satu orangpun yang menyayangiku melebihi kasih sayangmu😘. Kasih sayangmu segalanya bagiku Bu..❣️

Terimakasih Tuhan untuk segala nikmat dan ujian-Mu. Rencana-Mu selalu lebih indah dari rencana makhluk-Mu.

Semua akan indah pada waktunya. Thanks God😊

Merindukanmu

Enam tahun sudah berlalu, tapi kenapa semua kenangan indah bersamanya masih tersimpan rapi dalam memori otakku.
Sungguh hati ini masih amat merindukannya walaupun enam tahun  telah berlalu.
Sekarang kita benar-benar sangat jauh
Maafkan aku yang sudah lama tak mengunjungi rumahmu😢. Aku merindukanmu, rindu yang tak akan pernah tercapai sampai kapanpun.
Maaf jika aku belum bisa membuatmu bangga karenaku.
Maaf jika aku hanya bisa merindukanmu dan mendoakanmu tanpa bisa menemuimu.
Tapi sebenarnya diri ini ingin sekali bertemu denganmu walau hanya lewat mimpi sekalipun.
Aku tau keinginanku untuk bertemu denganmu hanyalah khayalan bagiku. Tapi kenapa aku harus memiliki keinginan itu? Padahal jelas-jelas aku tau itu tak akan menjadi nyata.
Karena aku sangat menyayangimu 😭aku sangat merindukanmu 😭aku ingin bertemu denganmu 😭😭
Ibu 😘😘semoga kau ditempatkan di surga-Nya. Doaku selalu menyertaimu😘

AWAN MENDUNG

Gundukan tanah yang menyimpan banyak kisah. Tempat yang selalu aku kunjungi minimal satu minggu sekali. Banyak kenangan indah yang tersi...